At-Tauhid Edisi 16/05
– Ibadah tidaklah diterima kecuali terpenuhi 2 syarat :
1) Mentauhidkan Allah
2) Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.– Memurnikan ibadah dan bersih dari noda syirik adalah syarat diterimanya amal ibadah seorang hamba.
– Syirik akbar selain membahayakan pelakunya, juga menjadi sebab terhapusnya seluruh amal ibadahnya.
”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-An’am: 88)
– Syirik kecil/ashghar akan merusak ibadah yang dilakukan. Contohnya riya’ (memamerkan amal ibadah agar dipuji orang lain):
◦ Jika sejak awal ibadah, niatnya tercampur riya’ maka ibadahnya tidak teranggap.
◦ Jika riya’ masuk di tengah ibadah dan ia berusaha menolaknya maka ibadahnya diterima dan terjaga dari riya’.
◦ Jika riya’ masuk dan ia tidak menolaknya maka ibadahnya menjadi tidak dianggap.
“Tidaklah seseorang merasa aman dari syirik kecuali dia adalah orang yang paling tidak memahami tentang syirik.” (Fathul Majid Syarh Kitabut-Tauhid)
Para pembaca yang semoga selalu mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala, Allah menciptakan kita tidak untuk dibiarkan begitu saja. Tidaklah kita diciptakan hanya untuk makan dan minum atau hidup bebas dan gembira semata. Akan tetapi, ada tujuan yang mulia dan penuh hikmah di balik penciptaan kita, yaitu melakukan ibadah kepada Sang Maha Pencipta. Namun, ibadah yng dimaksudkan hanya diterima saat terkandung tauhid di dalamnya. Jika terdapat noda-noda syirik, maka batallah amal ibadah tersebut.
Tauhid adalah Syarat Diterimanya Ibadah
Perlu diketahui bahwa ibadah tidak akan diterima, kecuali apabila memenuhi 2 syarat:
1) Memurnikan ibadah kepada Allah semata (tauhid) dan bersih dari kesyirikan.
2) Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibadah apapun yang tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat ini, maka ibadah tersebut tidak diterima.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam).
Ada permisalan yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalahnya yang berjudul Al-Qawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata, ”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen). Sebagaimana salat tidaklah disebut salat kecuali dalam keadaan thaharah (baca: bersuci). Apabila syirik masuk dalam ibadah tadi, maka batallah ibadah tersebut, sebagaimana hadats masuk dalam thaharah.”
Maka setiap ibadah yang di dalamnya tidak terdapat tauhid sehingga jatuh kepada syirik, maka amalan seperti itu tidak bernilai selamanya. Oleh karena itu, tidaklah dinamakan ibadah kecuali dengan tauhid. Adapun jika tanpa tauhid, sebagaimana seseorang bersedekah, memberi pinjaman utang, berbuat baik kepada manusia atau semacamnya, namun tidak disertai dengan tauhid (ikhlas mengharap ridha Allah) maka dia telah jatuh dalam firman Allah yang artinya, ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.” (Q.S. Al-Furqon : 23) (Abrazul Fawa’id).
Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai
Syaikh rahimahullah membuat permisalan yang sangat mudah dipahami dengan permisalan salat. Tidaklah dinamakan salat kecuali adanya thaharah, yaitu berwudhu. Apabila seseorang tidak dalam keadaan berwudhu lalu melakukan salat yang banyak, memanjangkan berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus salatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan salat karena agungnya syarat salat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah tidak akan menerima salat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (Muttafaqun ‘alaih).
Sebagaimana shalat dapat batal karena tidak adanya thaharah, maka ibadah juga bisa batal karena tidak adanya tauhid di dalamnya. Namun, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja jauh berbeda jika dibanding dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Apabila seseorang shalat dalam keadaan hadats dengan sengaja, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, para ulama tidak pernah berselisih pendapat tentang kafirnya orang yang beribadah pada Allah dengan berbuat syirik kepada-Nya (yaitu syirik akbar) yang dengan ini akan menjadikan tidak ada satu amalnya pun diterima. (Lihat Syarhul Qawa’idil Arba’, Syaikh Sholeh Alu Syaikh).
Syirik Akbar Akan Menghapus Seluruh Amal
Ingatlah saudaraku, seseorang bisa dinyatakan terhapus seluruh amalnya (kafir) bukan hanya semata-mata dengan berpindah agama (alias: murtad). Akan tetapi, seseorang bisa saja kafir dengan berbuat syirik, yaitu syirik akbar, walaupun dalam kehidupannya dia adalah orang yang rajin melakukan salat malam. Apabila dia melakukan satu syirik akbar saja, maka dia bisa keluar dari agama ini dan amal-amal kebaikan yang dilakukannya akan terhapus. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-An’am: 88).
Contoh syirik akbar adalah melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan) di laut selatan agar laut tersebut tidak ngamuk (yang kata pelaku syirik: tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa laut selatan yaitu jin Nyi Roro Kidul). Padahal menyembelih merupakan salah satu aktivitas ibadah, karena di dalamnya terkandung unsur ibadah, yaitu merendahkan diri dan tunduk patuh. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al An’am: 162).
Barangsiapa yang memalingkan perkara ibadah yang satu ini kepada selain Allah maka dia telah jatuh dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam. (Lihat At Tanbihaat Al Mukhtashot Syarh Al-Wajibat).
Syirik Ashgar/Kecil Dapat Menghapus Amal Ibadah
Jenis syirik yang berada di bawah syirik akbar dan tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam adalah syirik ashgar (syirik kecil). Walaupun dinamakan syirik kecil, akan tetapi tetap saja dosanya lebih besar dari dosa besar seperti berzina dan mencuri.
Salah satu contoh syirik kecil adalah riya’, yaitu memamerkan amal ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Dosa ini yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatirkan akan menimpa para sahabat dan umatnya. Pada kenyataannya banyak manusia yang terjerumus di dalam dosa syirik yang satu ini. Banyak orang yang mengerjakan salat dan membaca Al Quran ingin dipuji dengan memperlihatkan ibadah yang mulia ini kepada orang lain. Tatkala orang lain melihatnya, dia memperpanjang rukuk dan sujudnya dan dia memperbagus bacaannya dan menangis dengan dibuat-buat. Semua ini dilakukan agar mendapat pujian dari orang lain, agar dianggap sebagai ahli ibadah dan Qari’ (orang yang mahir membaca Al Qur’an).
Wahai saudaraku, waspadalah terhadap jerat setan yang dapat membatalkan amal ibadahmu! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Allah berfirman, ‘Aku itu paling tidak butuh sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan lantas dia mencampurinya dengan berbuat syirik di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia bersama amal syiriknya itu’.” (H.R. Muslim).
Apabila ibadah yang dilakukan murni karena riya’, maka amal tersebut batal. Namun apabila riya’ tiba-tiba muncul di pertengahan ibadah lalu pelakunya berusaha keras untuk menghilangkannya, maka hal ini tidaklah membatalkan ibadahnya. Namun apabila riya’ tersebut tidak dihilangkan, malah dinikmati, maka hal ini dapat membatalkan amal ibadah.
Wahai saudaraku, bersikaplah sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam -kekasih Allah yang bersih tauhidnya dari perbuatan syirik-. Beliau masih berdo’a kepada Allah (yang artinya), ”Jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Q.S. Ibrahim: 35).
Jika beliau yang sempurna tauhidnya saja masih takut terhadap syirik, tentu kita semua yang miskin ilmu dan iman tidak boleh merasa aman darinya. Ibrahim At-Taimi berkata, “Dan siapakah yang lebih merasa aman tertimpa bala’ (yaitu syirik) setelah Nabi Ibrahim. Tidaklah seseorang merasa aman dari syirik kecuali dia adalah orang yang paling bodoh tentang syirik.” (Fathul Majid).
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedang kami mengetahuinya, dan kami memohon ampunan kepada-Mu atas sesuatu yang kami tidak mengetahuinya.
Penulis : Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc. (Pimpinan Pesantren Darush Shalihin, Pengasuh laman web Rumaysho.com)